Kamis, 05 Mei 2011

Mengapa Remaja Bunuh Diri?

Mengapa Remaja Bunuh Diri?

Ketika bumi terasa menyempit dikarenakan
himpitan persoalan hidup dan jiwa serasa
seolah tertekan oleh beban berat kehidupan
yang harus dipikul, menyerulah "Ya Allah"
A, seorang anak laki-laki, usia 13 tahun dan pendidikan lulus SD. A anak laki-laki pertama dari 2 bersaudara dengan jarak usia 8 tahun dan sangat ingin melanjutkan pendidikan ke SMP. Sebelum mempunyai adik, A sangat dimanja oleh keluarganya, terutama ibu dan neneknya. Ibu dan ayah A bekerja sebagai buruh di sebuah perkebunan dengan penghasilan berdua per harinya tidak lebih dari Rp 15.000,00.

Lebih kurang lima jam sebelum peristiwa itu, adik A akan mengikuti acara Maulud Nabi di sekolah pengajiannya. A juga ingin melihat acara tersebut, sehingga menawarkan pada adiknya untuk mengantar. Namun adiknya menolak karena ingin diantar oleh ibunya. Akhirnya adik A diantar oleh ibunya. Karena sangat ingin menonton acara tersebut, sambil menangis A meminta yang Rp 5.000,00. Seperti biasanya nenek memenuhi permintaan cucunya dan menyuruh menunggu sebentar karena akan menukarkan uang ke warung terlebih dahulu. Sepulang dari warung nenek tersebut menemukan cucunya telah tergantung di kamar. A tidak sadarkan diri dan dibawa ke rumah sakit.
Pertanyaan:
1. Mengapa A mencoba bunuh diri?
2. Faktor-faktor apa yang memengaruhinya?
Kami sekeluarga mengucapkan banyak-banyak terima kasih pada dokter atas perhatian dan penjelasan.
Keluarga A
ANGKA kejadian bunuh diri pada anak dan remaja dalam beberapa tahun terakhir ini semakin meningkat. Hal itu bukan hanya merupakan masalah kesehatan semata, tetapi sangat kompleks menyangkut berbagai aspek kehidupan dan saling memengaruhi satu sama lain (mental - emosional - sosial - ekonomi - pendidikan - rohani dan kesejahteraan). Banyak penelitian telah dilakukan mengenai fenomena ini, baik mengenai epidemiologi, etiologi, faktor risiko, maupun terapi dan prevensi. Namun untuk Indonesia hal ini masih sangat terbatas.
Agar dapat dilakukan berbagai upaya mulai dari pencegahan dan intervensi terhadap faktor-faktor yang dapat dimodifikasi, perlu pemahaman tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap bunuh diri pada anak dan remaja.
Meningkatnya kejadian bunuh diri di kalangan anak dan remaja, mirip burung kenari yang berfungsi sebagai sentinel dalam terowongan tambang batu bara. Kematian burung merupakan tanda sedikitnya oksigen. Bunuh diri pada remaja itu merupakan barometer adanya suatu ketidakmampuan anak dan remaja dalam mengatasi masalah yang mereka hadapi, kurangnya mekanisme koping yang dimiliki dalam mengatasi stres. Hal ini juga menjadi bukti dari kegagalan para orang tua dan pendidik untuk membekali anaknya dengan keterampilan hidup.
Bunuh diri pada remaja erat kaitannya dengan kekacauan dalam keluarga yang berkepanjangan, kekerasan (verbal, motorik dan emosional) dalam keluarga, penolakan anak oleh orang tua serta ketidakmampuan orang tua mengembangkan keterampilan anak dalam mengatasi berbagai masalah stresor. Anak dan remaja berisiko lebih besar untuk bunuh diri bila mereka dibanjiri oleh situasi yang kacau, penganiayaan dan pengabaian. Hasil dari eksposure penganiayaan dan kekerasan pada anak dan remaja terus menerus dapat menampilkan perilaku agresif, mencederai diri dan perilaku bunuh diri. 
Prevalensi bunuh diri pada anak dan remaja dalam satu tahun antara 1,7 - 5,9% dan untuk selama hidup antara 3,0 - 7,1%. Diperkirakan 12% dari kematian pada kelompok anak dan remaja disebabkan karena bunuh diri. Keberhasilan bunuh diri pada remaja laki-laki 5 kali lebih besar dibandingkan wanita, meskipun untuk percobaan bunuh diri pada remaja wanita 3 kali lebih banyak dibandingkan remaja laki-laki. Ide-ide bunuh diri bukan merupakan fenomena yang statis dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Keputusan untuk bunuh diri dapat muncul tiba-tiba (impulsif) tanpa banyak dipikirkan terlebih dahulu atau keputusan merupakan puncak dari kesulitan atau kebingungan yang berkepanjangan.
Penelitian yang dilakukan terhadap 39.000 orang, ditemukan bahwa kemurungan, kelesuan yang melumpuhkan, rasa ditolak, keputusasaan dan bunuh diri telah dimulai pada usia yang semakin lama kian dini (semakin muda). Dari penelitian itu diketahui pula bahwa meningkatnya kasus-kasus depresi dan bunuh diri erat kaitannya dengan situasi krisis (politik, sosial, ekonomi dan moral), pengangguran, kemiskinan, persaingan yang keras dan kriminalitas.
Diduga di zaman modern ini secara perlahan-lahan tetapi pasti telah terjadi erosi besar-besaran terhadap keluarga inti, makin sedikitnya waktu yang disediakan orang tua, berlipat ganda angka perceraian dan semakin banyak keluarga yang "menjalankan" sikap kurang/tidak peduli terhadap kebutuhan tumbuh kembang anak dan remaja. Individualisme, lenyapnya keyakinan yang lebih dalam terhadap agama serta dukungan masyarakat dan keluarga besar yang menyebabkan hilangnya sumber penopang dari kekalahan atau kegagalan.
Ide-ide bunuh diri, perilaku dan percobaan bunuh diri umumnya berhubungan dengan gangguan depresi. Masalah bunuh diri khususnya pada remaja kini telah berkembang menjadi masalah kesehatan mental masyarakat. Di AS setiap tahunnya lebih dari 12.000 anak dan remaja dirawat di rumah sakit disebabkan ancaman bunuh diri. Anak usia di bawah 12 tahun lebih jarang melakukan bunuh diri karena mereka masih sulit untuk merencanakan tindakan tersebut. 
Metoda yang digunakan untuk bunuh diri mempengaruhi angka kesakitan dan kematian. Kebersihan akan tinggi bila menggunakan senjata api. Metoda lain yang banyak digunakan adalah gantung diri. Seperempat dari semua kasus bunuh diri remaja laki-laki dengan cara gantung diri, sedang bunuh diri pada remaja perempuan dengan minum racun. Akhir-akhir ini diketahui bahwa 10% kasus bunuh diri menggunakan karbon monoksida. Diketahui ada beberapa faktor risiko untuk bunuh diri pada remaja di antaranya riwayat keluarga mengenai perilaku bunuh diri, kekerasan dalam keluarga dan impulsivitas.
Adanya faktor genetik ikut berperan dalam perilaku bunuh diri dibuktikan dengan penelitian anak kembar satu telur (monozigotik) dan dua telur (dizigotik). Selain itu diketahui pula bahwa risiko untuk bunuh diri pada remaja juga tinggi pada gangguan mental. Penelitian neurotransmister memperlihatkan adanya tumpang tindih antara orang agresif dan impulsif dengan bunuh diri. Kadang serotonin dan metabolitnya (5 HIAA) yang rendah ditemukan dalam otak orang yang meninggal karena bunuh diri. Kadar serotonin yang rendah di dalam cairan serebrospinal juga dijumpai pada penderita depresi yang melakukan percobaan bunuh diri dengan cara kekerasan.
Mekanisme yang menghubungkan antara kadar serotonin yang rendah dengan perilaku agresif dan bunuh diri, belum diketahui dengan pasti. Apakah benar kadar serontonoin yang rendah sebagai turn out to be marker, jarang menjadi penyebab agresif dan bunuh diri. Dexamethason Supression Tes ternyata kurang spesifik untuk anak dan remaja yang depresi dibandingkan orang dewasa.
Profil anak dan remaja bunuh diri
Anak dan remaja yang mempunyai risiko bunuh diri, umumnya mempunyai profil atau ciri-ciri, di antaranya:
* Dikenal lingkungannya sebagai anak "baik".
* Memiliki tuntutan kemampuan yang tinggi.
* Punya minat dan keinginan tinggi.
* Memiliki karakter perfeksionis atau selalu harus sempurna.
* Kesulitan untuk dapat menerima kekurangan diri.
* Prestasi akademik mulai kurang sampai di atas rata-rata.
Faktor pencetus bunuh diri
Bunuh diri pada anak dan remaja sering berhubungan dengan stresor yang terjadi sesaat. Faktor pencetus yang mendahului tindak bunuh diri pada anak dan remaja umumnya karena:
* Konflik dan pertengkaran dengan anggota keluarga (adik, kakak atau orang tua).
* Menghindari atau antisipasi terhadap hukuman, misal dari orang tua, guru atau polisi karena kesalahan yang dibuatnya.
* Kehilangan muka atau dipermalukan di depan teman-temannya.
* Pertengkaran dengan pacar atau putus cinta.
* Kesulitan di sekolah baik akademis, hubungan interpesonal atau keuangan.
* Perpisahan dengan orang yang berarti bagi dirinya.
* Penolakan baik oleh orang tua, teman atau lingkungannya.
Dari kenyataan di atas beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dan disarankan antara lain memberikan pengetahuan dan keterampilan pada orang tua dan guru tentang bunuh diri pada anak dan remaja serta faktor-faktor yang terkait, agar dapat dilakukan pencegahan. Selain itu perlu pula dilakukan penelitian untuk mengetahui "Adakah hubungan antara maraknya berita-berita bunuh diri pada anak dan remaja di media massa dengan semakin meningkatnya kasus-kasus bunuh diri pada anak dan remaja?" Bila ini terbukti, berita seperti apa yang berpengaruh?***

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0604/13/hikmah/konsultasi.htm

diakses 20 April 2004











Updated: Selasa, 06 Juli 2004, 08:50 WIB
Jakarta, Kompas 
Bunuh Diri, Luar Biasa dan Masih Misteri
BELAKANGAN, kasus bunuh diri kembali marak di Jakarta dan sekitarnya. Modusnya pun variatif, seperti meloncat dari ketinggian, minum racun tikus, menggantung leher dengan tambang, hingga yang paling menggiriskan, membakar dirinya sendiri hingga gosong dan tewas. 
Psikolog senior lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Sartono Mukadis, mempunyai jawaban atas berbagai peristiwa itu.
"BUNUH diri", sebuah kata yang tidak asing lagi bagi pendiri dan penyiar radio swasta mahasiswa Radio Pancasila Yon A Yani ini. "Pasien pertama saya sewaktu masih mahasiswa juga bunuh diri. Jadi, saya tidak heran lagi," kata Sartono, kelahiran Jakarta, 20 Desember 1945, ini.
Bapak tiga anak yang juga Ketua Masyarakat Peduli Betawi dan mempunyai hobi jalan-jalan ini juga menyimak berbagai kasus bunuh diri di Jakarta akhir-akhir ini, juga di Batam yang menurut dia cukup tinggi. Namun, menurut dia, bunuh diri di kota-kota besar di Jepang masih lebih tinggi. 
Berikut petikan wawancara Sartono Mukadis dengan Kompas di rumahnya yang asri dan sejuk di daerah Pondok Labu, Jakarta Selatan, pekan lalu.
Bagaimana menjelaskan mengapa orang bisa nekat bunuh diri? Apakah ada teori yang bisa menjawab masalah ini?
Ada banyak teori mengenai mengapa orang nekat bunuh diri. Ada bunuh diri absurditas, bunuh diri eksistensialis, bunuh diri karena patologis, atau bahkan karena alasan romantisme dan heroisme. Namun, itu hanya teori karena sampai sekarang pun, bunuh diri tetap masih menjadi misteri, dan penjelasannya bisa kasus per kasus.
Misalnya?
Saya ambil contoh keluarga Hemingway. Ernest Hemingway mati karena bunuh diri. Ternyata, kakek dan pamannya juga melakukan hal yang sama. Kalau dicermati, apa yang dilakukannya itu tanpa sebab, tidak ada bukti depresi. Apakah ini masalah genetis? Dalam kasus ini saya rasa adalah masalah eksistensi. Hemingway yang penulis hebat itu melakukan hal itu karena modus eksistensi. Ia ingin mengakhiri eksistensi dirinya dengan cara bunuh diri. Namun, modus seperti ini memang hanya dilakukan oleh sebagian kecil orang.
Di dalam masyarakat modern atau hipermodern, ada orang yang membayangkan bunuh diri sebagai sesuatu yang romantis. Misalnya seperti film Ghost. Orang membayangkan, jika saya mati, saya akan bisa seperti sosok dalam Ghost, bisa melihat kejadian di dalam dunianya dulu. Pada anak kecil, bunuh diri bisa dikaitkan dengan unsur heroisme, dia memahlawankan kematian, seperti yang dilihatnya dalam film-film.
Yang namanya bunuh diri, bukankah orang itu melakukannya dengan sadar? 
Itulah mengapa bunuh diri saya sebut sebagai hal yang luar biasa. Bayangkan, orang mengakhiri hidupnya dengan kesadaran penuh. Bahkan, ada yang didasari berbagai pertimbangan, bahwa dia akan memperoleh sesuatu yang belum pernah didapatkan seumur hidupnya. Setelah mati, dia akan ditangisi dan dihormati seumur hidupnya.
Luar biasa, sebab dia bisa berkewenangan menyetop hidupnya sendiri. Saya belum melihat ini pada hewan, namun jelas tidak terjadi pada tumbuhan.
Apakah pelaku bunuh diri bisa dikatakan mempunyai penyakit kejiwaan? Apakah hal itu dilakukan dengan spontan? Mengapa orang sampai bisa menyiapkan segala sesuatunya sebelum bunuh diri?
Dalam teori psikologi perilaku, bunuh diri sebenarnya adalah kepanikan atau letupan sesaat, sebuah dorongan yang tiba-tiba. Antara terpicu dan bertindak hanya berlangsung sekejap, dalam hitungan detik, menit, atau jam, namun tidak dalam hitungan hari. Orang berada dalam emosi yang sangat memuncak sebelum akhirnya dia mengakhiri hidupnya. Jarang sekali orang sampai berpikir dua sampai tiga kali sebelum bunuh diri, kecuali ada obsesi kompulsif yang terus berulang. Ia terobsesi untuk mengakhiri hidupnya.
Belum ada satu pun literatur yang menyebutkan teori mengenai bunuh diri yang dipersiapkan, namun ternyata hal itu ada. Saya juga tidak tahu mengapa ada orang yang berpikir dulu, mengambil racun, membeli tambang ke pasar, menyimpul tambang itu, mencari plafon yang kuat.
Mengapa ada orang memilih melompat dari bangunan tinggi, sementara orang lain memilih membakar diri? Bisakah Anda menjelaskannya?
Itu tergantung pengalaman, pendidikan, dan kedekatan atau kesempatan. Kalau dia tinggal di gedung tinggi dan tidak ada alat untuk bunuh diri di saat dia sedang dalam kondisi emosi yang memuncak, yang paling mudah adalah meloncat. Namun, pada orang lain, mungkin dipengaruhi oleh buku yang kerap dibacanya atau tayangan yang kerap ditontonnya.
Apakah setiap orang memiliki kecenderungan untuk bunuh diri?
Bunuh diri bukan hanya bisa dilakukan orang yang sakit patologis saja, tetapi juga bisa dilakukan oleh orang normal. Setiap orang normal juga punya kecenderungan untuk bunuh diri. Tergantung seberapa besar tingkat kelenturan kepribadian yang dimiliki seseorang. Orang yang kepribadiannya kaku lebih mudah melakukan bunuh diri jika ada perubahan-perubahan tidak menyenangkan yang terjadi pada dirinya. Sedangkan orang dengan kepribadian fleksibel lebih bisa mengendalikan kekecewaannya.
Misalnya, saya punya uang Rp 1.000 saja masih bisa ketawa- ketawa, sedangkan orang lain kehilangan Rp 1 miliar saja sudah merasa bangkrut dan bisa bunuh diri. Ambang kelenturan seseorang itu macam-macam. Semakin kaku semakin mudah patah.
UNTUK mengatasi tekanan sosial dan ekonomi di Jakarta ini, apa yang harus kita lakukan?
Adaptasi. Artinya, jangan terlalu kaku dalam menghadapi hidup ini. Hidup tak bisa dipandang secara hitam putih. Setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup kita harus bisa disikapi secara fleksibel. Dengan cara seperti itu kita akan survive dari tekanan-tekanan hidup.
Bagaimana caranya menanamkan kelenturan pada seseorang.
Kelenturan itu bisa diajarkan sejak masa kanak-kanak. Ketika anak sudah memasuki taman kanak-kanak harus diajarkan untuk bisa mengatasi masalahnya sendiri. Jangan mau "diperas" anak yang meminta agar semua keinginannya selalu dipenuhi. Dengan cara seperti itu, anak akan terbiasa berpikir kreatif alternatif. Anak dibimbing untuk mencari jalan keluar lain untuk mengatasi masalahnya. Kelak jika dewasa, ia akan memiliki ambang kelenturan yang tinggi.
Untuk melatih kelenturan, anak bisa diajarkan untuk berani menertawakan diri sendiri. Cara itu dilakukan agar anak terlatih menghadapi kegagalan. Yang kedua, jangan pernah membanding-bandingkan anak dengan anak lain karena hanya akan memunculkan tekanan psikologis. Yang benar, bandingkan anak itu dengan dirinya sendiri. Misalnya, "Nak, mengapa nilainya sekarang lima? Cawu lalu nilaimu bisa tujuh, kan". Jangan sampai bilang, mengapa nilai anak itu lebih jelek dengan tetangga sebelah, misalnya.
Banyaknya kasus bunuh diri mengindikasikan apa?
Bunuh diri menandakan masyarakat kita sedang sakit. Kasus bunuh diri ini banyak terjadi di kota-kota besar.
Mengapa di kota besar seperti Jakarta?
Jakarta ini lebih berbentuk kerumunan (crowd) sehingga banyak orang yang kehilangan komunikasi satu sama lain. Bandingkan dengan orang yang hidup di kampung atau pedesaan. Dengan budaya seperti petan (mencari kutu rambut) yang mereka miliki, masing-masing orang bisa mengungkapkan persoalan yang dihadapinya dengan orang lain. Orang bisa mendengarkan dan didengarkan.
Di Jakarta, jutaan orang seolah tercerabut dari akarnya. Keakraban antarwarganya kurang terjalin dengan baik. Sempitnya ruang terbuka yang bisa dimanfaatkan oleh warga untuk bersosialisasi ikut memengaruhi itu. Sedangkan bentuk komunitas sekarang ini lebih bersifat formal dan kurang bisa mengakomodasi kebutuhan psikologis anggotanya. Alangkah baiknya jika radio-radio swasta lebih sering mengudarakan acara curhat, lebih bicara dari hati ke hati.
Budaya ngrumpi itu sebenarnya baik, namun ngrumpi di Jakarta sudah mengalami metamorfosis, dan lebih kepada obrolan kosong. Tidak ada sharing dan caring. (Susi Ivvaty/ Lusiana Indriasari)
http://www.kompas.com/kesehatan/news/0407/06/085733.htm


















Selasa, 13 Mei 2003
Bunuh Diri
Oleh S Wibisono
BUNUH diri sebagai bagian dari fenomena kehidupan, mungkin sudah ada sejak mulainya peradaban manusia. Banyak ulasan telah dilakukan yang melihatnya dari segi logika umum (putus-asa karena tidak kuat menahan stres kehidupan ekonomi, pribadi, dan sebagainya), pandangan segi keyakinan agama (kurang keimanan, dosa), dari segi budaya dan kehormatan (harakiri), tinjauan segi psikodinamik (latar belakang kepribadian), dari aspek biologis (peran serotonin), dan genetis (contohnya bunuh diri yang terjadi pada empat generasi keluarga Hemingway).
Dilihat dalam perspektif luas kehidupan manusia secara menyeluruh, mungkin tidak ada seorang pun yang mengerti benar mengapa seseorang melakukan bunuh diri. "Alasan" seseorang melakukan bunuh diri, sering hanya merupakan pencetus, bukan penyebab sebenarnya. Persoalan yang sama, tidak mendorong orang lain untuk bunuh diri. Banyak faktor individual lain yang ikut menentukan. Hal yang bagi orang-lain terlihat sepele, bagi yang memiliki latar belakang tertentu, sudah cukup untuk melakukan bunuh diri (Kompas, 29/4/2003, ulasan menarik Herman Elia: Bunuh diri karena masalah sepele).
Banyak faktor ikut menentukan apakah seseorang berisiko tinggi untuk bunuh diri, antara lain: faktor genetis, latar belakang kepribadian, kemampuan adaptasi dan penyelesaian masalah yang tentunya didasari pengalaman dan bekal pendidikan yang didapat baik dari aspek budaya maupun agama, faktor kehidupan/dukungan lingkungan sosial, berat dan lamanya beban stresor yang dialami, arti "kejadian" tertentu bagi yang bersangkutan, adanya gangguan psikiatrik lain sebelumnya, faktor pencetus kejadian bunuh diri, dan sebagainya.
Mengapa perlu bersusah-payah memahami berbagai aspek bunuh diri? Dengan memahami kompleksnya masalah bunuh diri, mudah-mudahan kita tidak cenderung menyamaratakan dan mengemukakan simplifikasi dalam "solusi". Bagi mereka yang tergolong risiko tinggi untuk melakukan bunuh diri, pengertian dan dukungan merupakan hal yang dibutuhkan, bukan memojokkan mereka dengan aneka "kekurangan". Bila kita ingin membantu melakukan pencegahan (primer maupun sekunder) atas tindak bunuh diri, banyak hal yang dapat dilakukan sesuai bidang keahlian.
Gangguan psikiatrik
Dari perspektif agama, bunuh diri dianggap sebagai hal tidak terpuji, bahkan dosa. Dalam konteks pencegahan, maknanya amat baik, namun bagi yang sedang mengalami "penderitaan", dampaknya sulit diperkirakan, misalnya pada depresi, hal itu dapat lebih memperberat rasa dosa dan tidak berguna yang merupakan ciri penting gangguan depresif, dan dapat memperkuat dorongan melakukan bunuh diri.
Banyak dari mereka yang melakukan bunuh diri telah mengalami gangguan psikiatrik (jangan diartikan sebagai gangguan jiwa psikotik saja, kita semua dapat mengalami salah satu bentuk gangguan jiwa- misalnya gangguan panik, fobia, psikosomatik, depresi, skizofrenia, obsesif-kompulsif, gangguan stres pascatrauma, dan sebagainya. Gangguan psikiatrik yang merupakan risiko terbesar perilaku bunuh diri adalah depresi, yang mencakup lebih 50 persen dari kasus bunuh diri. Risiko bunuh diri lainnya juga pada: gangguan kepribadian, penyalahgunaan zat, skizofrenia, gangguan stres pasca trauma, pecandu alkohol, penyakit fisik menahun, cacat berat, usia lanjut, dan beban hidup berat berkepanjangan.
Bunuh diri terjadi pada 15 persen dari mereka yang mengalami depresi. Meski wanita lebih banyak yang mengalami depresi, namun persentase bunuh diri lebih banyak terjadi pada pria (sekitar tiga banding dua). Bunuh diri pada usia lanjut banyak berkait dengan komorbiditas depresi dan penyakit fisik menahun, usia muda lebih pada depresi yang disertai gangguan kepribadian dan penyalahgunaan zat.
Usia lanjut merupakan faktor risiko penting untuk bunuh diri, didorong kekosongan, kesepian, rasa tak berguna, ditambah sering adanya disabilitas dan kecacatan, penyakit berat menahun (kanker, diabetes mellitus, stroke). Bunuh diri pasif terjadi bila seseorang sudah tidak ingin hidup lebih lama dengan cara tidak melakukan hal-hal yang dapat membantu penyembuhan dirinya. Bila orang lain membiarkan atau mendukung hal itu, maka sebenarnya merupakan bentuk euthanasia pasif.
Bunuih diri anomik
Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial dengan kecenderungan ketergantungan amat kuat antara satu dari lainnya. Semua perilaku dan perasaannya hanya mempunyai arti dalam hubungan dengan orang lain. Eksistensi dan harga-diri memiliki arti amat kuat dalam kaitan dengan integrasi sosial. Karena itu, berbagai kondisi yang mengancam keterikatan ini juga berpengaruh pada pola bunuh diri.
Pengaruh kehidupan sosial-budaya (termasuk agama dan kepercayaan) pada ketahanan atas kecenderungan bunuh diri cukup luas diketahui. Keterikatan keluarga besar (umumnya di negeri timur) kemungkinan lebih memberi perlindungan kepada kecenderungan bunuh diri, khususnya pada lanjut usia. Bunuh diri dapat meningkat karena kekacauan kehidupan sosial yang mengganggu hubungan interpersonal, yang dapat terjadi karena stres kehidupan sosial berkepanjangan atau konflik sosial dan kerusuhan seperti pada berbagai kejadian akhir-akhir ini (bunuh diri anomik).
Bila kita ingin membantu mereka, yang penting mencoba memahami melalui pendekatan yang empatik, dan mencoba membantu sesuai kemampuan kita (banyak cara intervensi krisis, tergantung kasus per kasus). Jangan menghakimi dan memojokkan. Bila kita merasa tidak kompeten, setidaknya berusaha mendukung dengan mencarikan bantuan profesional.
Berbeda kiranya bila kita berbicara mengenai pencegahan (terutama pencegahan primer). Tentu harus memahami lebih dulu faktor-faktor umum apa saja yang dapat memperkecil risiko tindak bunuh diri. Tidak takabur dengan keyakinan sendiri dengan meremehkan peran faktor lain. Baru dengan demikian kita dapat melakukan ikhtiar pencegahan lewat pengamalan bidang yang menjadi kompetensi masing-masing.
Pencegahan primer dalam aspek psiko-edukatif amat penting karena merupakan sarana meletakkan dasar-dasar perkembangan kognitif, kemampuan penalaran, mekanisme adaptasi, melalui pola pendidikan yang terkait nilai-nilai kehidupan, falsafah hidup, dan ajaran agama. Berbagai hal itu yang disertai bimbingan budi pekerti serta disiplin, seharusnya menjadi bagian strategi dari pendidikan dasar. Contoh peran dalam kehidupan sosial (termasuk di sini budaya, agama, lingkungan hidup baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial lain baik yang bersifat keluarga, kehidupan masyarakat, kehidupan sosial-politik-ekonomi), tentunya merupakan bagian penting yang tak terpisahkan dari pendidikan itu.
Perbaikan kehidupan masyarakat (ekonomi, keamanan, perbaikan jaminan, dan pelayanan sosial) langsung atau tidak, merupakan pencegahan primer untuk bunuh diri (terutama tipe anomik). Akulturasi akibat globalisasi nilai kehidupan, berpengaruh pada menurunnya frekuensi bunuh diri altruistik, namun di lain pihak dapat meningkatkan bunuh diri anomik.
Cukup banyak dan luas hal yang dapat dilakukan untuk membantu mencegah peningkatan bunuh diri. Tinggal lagi kesungguhan dari masing-masing kita dalam berkiprah sebagai anggota masyarakat, sebagai ahli dalam salah satu bidang, atau sebagai pejabat pelayan (bukan penguasa?) yang mengatur pemerintahan. Kepedulian dalam masalah bunuh diri ini jangan menjadi proyek kebanggaan pribadi, tetapi proyek kemanusiaan.
Dalam hal pencegahan sekunder, pengadaan pelayanan melalui pusat krisis, merupakan hal yang amat bermanfaat untuk menampung kondisi-kondisi kritis, termasuk masalah bunuh diri.
Kini, tidak ada angka bunuh diri yang akurat, yang dapat menggambarkan kondisi keseluruhan. Berbagai angka bunuh diri (dari rumah sakit dan berita di koran) dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan. Kenaikan angka bunuh diri mengingatkan adanya kemunduran dalam kualitas kehidupan sosial. Seharusnya angka ini (bila ada dan akurat) penting untuk menentukan strategi yang lebih realistis dalam menyusun prioritas berbagai program, termasuk masalah bunuh diri.
Prof dr S Wibisono Guru Besar Psikiatri Fakultas Kedokter Universitas

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/13/opini/308197.htm






























Peningkatan Kualitas Hidup Menuju Masyarakat Sehat
23 Agustus 2004 16:27:33
Ada yang menarik berkait dengan fenomena masalah kesehatan jiwa, yaitu indikator kesehatan jiwa di masa mendatang bukan lagi masalah klinis seperti prevalensi gangguan jiwa, melainkan berorientasi pada konteks kehidupan sosial. Oleh karena itu, upaya menjamin kesehatan jiwa tidak lagi hanya urusan psikiater, tetapi juga melibatkan profesi lain. Demikian dikemukakan dr Danardi SpKJ dari Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). 

Fokus kesehatan jiwa, papar Danardi, bukan lagi hanya menangani orang sakit, melainkan pada peningkatan kualitas hidup. Jadi, konsep kesehatan jiwa bukan lagi sehat atau sakit, melainkan kondisi optimal yang ideal dalam perilaku dan kemampuan fungsi sosial. 

Seseorang dikatakan sehat jika mampu berkarya, mampu bersosialisasi, dan menikmati waktu senggang. Artinya, meskipun seseorang pernah menderita skizofrenia dan mempunyai kemungkinan kambuh, jika tiga hal itu tercapai maka bisa dikatakan bahwa ia dalam taraf kesehatan optimal. Definisi berkarya dalam hal ini bukan hanya bekerja di kantor, tetapi juga jika mampu melakukan pekerjaan keseharian seperti mencuci piring, membantu masak, tidak hanya bersikap pasif tanpa mengerjakan sesuatu. 

Atas dasar itu, lantas timbul pertanyaan. Seperti apa sebenarnya gangguan kesehatan jiwa itu? Bagaimana kondisi jiwa seseorang yang sehat? Dan kualitas hidup seperti apa yang mampu membangun terwujudnya struktur masyarakat sehat tersebut? 

Terjadinya perang, konflik dan lilitan krisis ekonomi berkepanjangan merupakan salah satu pemicu yang memunculkan stres, depresi dan berbagai kesehatan jiwa pada manusia. Menurut data World Health Organization (WHO), masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO (2001) menyatakan, paling tidak, ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. 

Sementara itu, menurut Dr Uton Muchtar Rafei, Direktur WHO wilayah Asia Tenggara, hampir satu per tiga dari penduduk di wilayah ini pernah mengalami gangguan neuropsikiatri. Buktinya, bisa kita cocokkan dan lihat sendiri dari data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 saja, di Indonesia diperkirakan sebesar 264 dari 1.000 anggota rumah tangga menderita gangguan kesehatan jiwa. 

Dalam hal ini, Prof Dr Azrul Azwar MPH, Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes, mengatakan, angka itu menunjukkan jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa di masyarakat yang sangat tinggi, yakni satu dari empat penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa dari rasa cemas, depresi, stres, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja sampai skizofrenia. 

Bukti lainnya, berdasarkan data statistik, angka penderita gangguan kesehatan jiwa memang mengkhawatirkan. Secara global, dari sekitar 450 juta orang yang mengalami gangguan mental, sekitar satu juta orang di antaranya meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Angka ini lumayan kecil jika dibandingkan dengan upaya bunuh diri dari para penderita kejiwaan yang mencapai 20 juta jiwa setiap tahunnya. 

Adanya gangguan kesehatan jiwa ini sebenarnya banyak penyebabnya. Namun, menurut Prof Dr dr H Aris Sudiyanto SpKJ, Guru besar ilmu kedokteran jiwa (psikiatri) Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, ada tiga golongan penyebab gangguan jiwa ini. Pertama, gangguan fisik, biologis atau organik. Penyebabnya antara lain berasal dari faktor keturunan, kelainan pada otak, penyakit infeksi (tifus, hepatitis, malaria, dan lain-lain), kecanduan obat dan alkohol, dan lain-lain. 

Kedua, gangguan mental, emosional atau kejiwaan. Penyebabnya, karena salah asuh, hubungan yang patologis di antara anggota keluarga disebabkan frustrasi, konflik dan tekanan krisis. Ketiga, gangguan sosial atau lingkungan. Penyebabnya dapat berupa stresor psikososial (baca: perkawinan, problem orangtua, hubungan antarpersonel, dalam pekerjaan atau sekolah, di lingkungan hidup, dalam masalah keuangan, hukum, perkembangan diri, faktor keluarga, penyakit fisik, dan lain-lain). 

Ciri Kesehatan Jiwa 

Hidup sehat dan memperoleh derajat kesehatan yang optimal itu merupakan hak setiap orang di republik ini, termasuk masalah kesehatan jiwa. Dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang kesehatan, pasal (4) disebutkan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal. 

Kesehatan diartikan sebagai keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Betapa indahnya kondisi hidup sehat itu. 

Adapun berkait dengan ciri utama kesehatan jiwa seseorang, menurut Prof Dr dr H Aris Sudiyanto SpKJ, adalah ada keserasian antara pikiran, perasaan, perilaku, dapat mandiri, bertanggung jawab, bersikap matang, serta dapat merasakan kebahagiaan dalam sebagian besar kehidupannya. Kalau salah satu dari ciri utama itu terganggu, berarti kesehatan jiwa seorang individu bisa dikatakan terganggu. 

Dampaknya, apabila fungsi kejiwaan seseorang itu terganggu, maka ia dapat mempengaruhi bermacam-macam fungsi seperti pada ingatan, orientasi, psikomotor, proses berpikir, persepsi, intelegensi, pada kepribadian, dan lainnya. 

Oleh sebab itu, menurut WHO, jika 10 persen dari populasi mengalami masalah kesehatan jiwa maka harus mendapat perhatian karena termasuk rawan kesehatan jiwa. Sejalan dengan paradigma sehat yang dicanangkan Departemen Kesehatan yang lebih menekankan upaya proaktif-melakukan pencegahan daripada menunggu di rumah sakit- kini orientasi upaya kesehatan jiwa lebih pada pencegahan (preventif) dan promotif. Upaya itu melibatkan banyak profesi, selain psikiater/dokter juga perawat, psikolog, sosiolog, antropolog, guru, ulama, jurnalis, dan lainnya. Penanganan kesehatan jiwa bergeser dari hospital base menjadi community base. 

Masyarakat Sehat 

Untuk mencapai masyarakat sehat, harus berawal dari pribadi-pribadi yang sehat pula, baik jasmani maupun mentalnya. Dalam hal ini, Erich Fromm (1995) mengungkapkan pribadi yang sehat mental adalah pribadi yang produktif dan tidak teraliensi, pribadi yang menghubungkan dirinya sendiri dengan dunia penuh cinta, dan yang menggunakan akal budinya untuk menangkap realitas secara objektif. Juga yang merasa dirinya sendiri sebagai satu kesatuan individu yang unik dan pada saat yang sama merasa satu dengan sesamanya, yang tidak tunduk pada otoritas irasional dan menerima secara tulus otoritas rasional dari hati nurani dan alam pikiran, seseorang yang mengalami proses lahir kembali sepanjang ia hidup, dan menganggap rahmat kehidupan adalah sebuah kesempatan yang sangat berharga. 

Pendek kata, kondisi kewarasan dan kesehatan mental dapat dicapai hanya dengan perubahan-perubahan simultan dalam berbagai bidang pembangunan di sekitar kita. Bisa berupa bidang industri, pendidikan, organisasi politik, spiritual, orientasi filosofis, struktur karakter, perilaku manusia, aktivitas kebudayaan suatu masyarakat, dan lain-lain. Lalu, masyarakat seperti apa yang sejalan dengan tujuan kesehatan mental (jiwa) itu? 

Sebagai solusinya, paling tidak, ada empat ciri pembentuk dari struktur masyarakat yang sehat itu. Pertama, masyarakat sehat adalah suatu masyarakat yang di dalamnya tak ada seorang manusia pun yang diperalat oleh orang lain, tetapi selalu (tak terkecuali) menjadi tujuan dirinya. Oleh karena itu, seharusnya tak ada seorang pun yang diperalat/memperalat diri sendiri. Di mana manusia itu menjadi pusat dan semua aktivitas ekonomi maupun politik diturunkan pada tujuan perkembangan diri manusia. 

Kedua, suatu masyarakat yang sehat mendorong aktivitas produktif setiap warganya dalam pekerjaannya merangsang perkembangan akal budi dan lebih jauh lagi, ia mampu membuat manusia untuk mengungkapkan kebutuhan batinnya berupa seni dan perilaku normatif kolektif. 

Ketiga, masyarakat yang sehat adalah masyarakat dengan sifat-sifat rakus, eksploitatif, pemilikan berlebihan, naisisme, tak mendapat kesempatan untuk dimanfaatkan dalam meraup keuntungan material tanpa batas atau untuk semata-mata gengsi seseorang, yakni dimana tindakannya menurut keyakinan pribadi menjadi sifat dasar dan penting; di mana oportunisme dan kurang memiliki pendirian dianggap asosial. Dalam arti lain, dimana hubungan dengan sesama tak terpisahkan (baca: menjadi masalah pribadinya juga) dari hubungan dengan diri sendiri. 

Keempat, suatu masyarakat sehat adalah kondisi masyarakat yang memungkinkan orang bertindak dalam dimensi-dimensi yang dapat dipimpin dan diobservasi. Walaupun ia menjadi partisipan aktif dan bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat, selain sebagai tuan atas hidupnya sendiri. 

Akhirnya, untuk mewujudkan struktur masyarakat sehat seperti itu, maka kuncinya tidak lain adalah setiap kita harus melakukan peningkatan kualitas hidup yang dapat menjamin terciptanya kondisi sehat yang sesungguhnya. 
Sumber : Suara Pembaruan
Berita Sebelumnya :
Indonesia akan Meneliti Tipe Virus AIDS 
Doping, Jalan Pintas yang Membahayakan Kesehatan 
Solusi Baru Penderita Tumor Otak 
Pencegahan Preeklamsi Faktor-faktor Gizi Kembali Disoroti? 
Menu Bebas Garam 
http://www.dnet.net.id/kesehatan/beritasehat/detail.php?id=2254



Photobucket