Rabu, 04 Januari 2012

Asuhan Keperawatan Diare

Asuhan Keperawatan DIARE
DEFINISI

Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan jumlah yinja yang lebih banyak dari biasanya (normal 100-200 cc/jam tinja). Dengan tinja berbentuk cair /setengan padat, dapat disertai frekuensi yang meningkat. Menurut WHO (1980), diare adalah buang air besar encer lebih dari 3 x sehari. Diare terbagi 2 berdasarkan mula dan lamanya , yaitu diare akut dan kronis (Mansjoer,A.1999,501).



ETIOLOGI
1. Faktor infeksi : Bakteri ( Shigella, Shalmonella, Vibrio kholera), Virus (Enterovirus), parasit (cacing), Kandida (Candida Albicans).
2. Faktor parentral : Infeksi dibagian tubuh lain (OMA sering terjadi pada anak-anak).
3. Faktor malabsorbsi : Karbihidrat, lemak, protein.
4. Faktor makanan : Makanan basi, beracun, terlampau banyak lemak, sayuran dimasak kutang matang.
5. Faktor Psikologis : Rasa takut, cemas.

PATOFISIOLOGI

faktor infeksi F malabsorbsi F makanan F. Psikologi
KH,Lemak,Protein


Masuk dan ber meningk. Tek osmo toksin tak dapat cemas
kembang dlm tik diserap
usus

Hipersekresi air pergeseran air dan hiperperistaltik
dan elektrolit elektrolit ke rongga
( isi rongga usus) usus menurunya kesempatan usus
menyerap makanan




D I A R E



Frek. BAB meningkat distensi abdomen


Kehilangan cairan & elekt integritas kulit
berlebihan perianal


gg. kes. cairan & elekt As. Metabl mual, muntah



Resiko hipovolemi syok sesak nafsu makan


Gang. Oksigensi BB menurun


Gangg. Tumbang

PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Identitas
Perlu diperhatikan adalah usia. Episode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Insiden paling tinggi adalah golongan umur 6-11 bulan. Kebanyakan kuman usus merangsang kekebalan terhadap infeksi, hal ini membantu menjelaskan penurunan insidence penyakit pada anak yang lebih besar. Pada umur 2 tahun atau lebih imunitas aktif mulai terbentuk. Kebanyakan kasus karena infeksi usus asimptomatik dan kuman enteric menyebar terutama klien tidak menyadari adanya infeksi. Status ekonomi juga berpengaruh terutama dilihat dari pola makan dan perawatannya .
2. Keluhan Utama
BAB lebih dari 3 x
3. Riwayat Penyakit Sekarang
BAB warna kuning kehijauan, bercamour lendir dan darah atau lendir saja. Konsistensi encer, frekuensi lebih dari 3 kali, waktu pengeluaran : 3-5 hari (diare akut), lebih dari 7 hari ( diare berkepanjangan), lebih dari 14 hari (diare kronis).
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pernah mengalami diare sebelumnya, pemakian antibiotik atau kortikosteroid jangka panjang (perubahan candida albicans dari saprofit menjadi parasit), alergi makanan, ISPA, ISK, OMA campak.
5. Riwayat Nutrisi
Pada anak usia toddler makanan yang diberikan seperti pada orang dewasa, porsi yang diberikan 3 kali setiap hari dengan tambahan buah dan susu. kekurangan gizi pada anak usia toddler sangat rentan,. Cara pengelolahan makanan yang baik, menjaga kebersihan dan sanitasi makanan, kebiasan cuci tangan,
6. Riwayat Kesehatan Keluarga
Ada salah satu keluarga yang mengalami diare.

7. Riwayat Kesehatan Lingkungan
Penyimpanan makanan pada suhu kamar, kurang menjaga kebersihan, lingkungan tempat tinggal.
8. Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan
a. Pertumbuhan
o Kenaikan BB karena umur 1 –3 tahun berkisar antara 1,5-2,5 kg (rata-rata 2 kg), PB 6-10 cm (rata-rata 8 cm) pertahun.
o Kenaikan linkar kepala : 12cm ditahun pertama dan 2 cm ditahun kedua dan seterusnya.
o Tumbuh gigi 8 buah : tambahan gigi susu; geraham pertama dan gigi taring, seluruhnya berjumlah 14 – 16 buah
o Erupsi gigi : geraham perama menusul gigi taring.
b. Perkembangan
o Tahap perkembangan Psikoseksual menurut Sigmund Freud.
Fase anal :
Pengeluaran tinja menjadi sumber kepuasan libido, meulai menunjukan keakuannya, cinta diri sendiri/ egoistic, mulai kenal dengan tubuhnya, tugas utamanyan adalah latihan kebersihan, perkembangan bicra dan bahasa (meniru dan mengulang kata sederhana, hubungna interpersonal, bermain).
o Tahap perkembangan psikososial menurut Erik Erikson.
Autonomy vs Shame and doundt
Perkembangn ketrampilan motorik dan bahasa dipelajari anak toddler dari lingkungan dan keuntungan yang ia peroleh Dario kemam puannya untuk mandiri (tak tergantug). Melalui dorongan orang tua untuk makan, berpakaian, BAB sendiri, jika orang tua terlalu over protektif menuntut harapan yanag terlalu tinggi maka anak akan merasa malu dan ragu-ragu seperti juga halnya perasaan tidak mampu yang dapat berkembang pada diri anak.
o Gerakan kasar dan halus, bacara, bahasa dan kecerdasan, bergaul dan mandiri : Umur 2-3 tahun :
1. berdiri dengan satu kaki tampa berpegangan sedikitpun 2 hitungan (GK)
2. Meniru membuat garis lurus (GH)
3. Menyatakan keinginan sedikitnya dengan dua kata (BBK)
4. Melepasa pakaian sendiri (BM)
9. Pemeriksaan Fisik
a. pengukuran panjang badan, berat badan menurun, lingkar lengan mengecil, lingkar kepala, lingkar abdomen membesar,
b. keadaan umum : klien lemah, gelisah, rewel, lesu, kesadaran menurun.
c. Kepala : ubun-ubun tak teraba cekung karena sudah menutup pada anak umur 1 tahun lebih
d. Mata : cekung, kering, sangat cekung
e. Sistem pencernaan : mukosa mulut kering, distensi abdomen, peristaltic meningkat > 35 x/mnt, nafsu makan menurun, mual muntah, minum normal atau tidak haus, minum lahap dan kelihatan haus, minum sedikit atau kelihatan bisa minum
f. Sistem Pernafasan : dispnea, pernafasan cepat > 40 x/mnt karena asidosis metabolic (kontraksi otot pernafasan)
g. Sistem kardiovaskuler : nadi cepat > 120 x/mnt dan lemah, tensi menurun pada diare sedang .
h. Sistem integumen : warna kulit pucat, turgor menurun > 2 dt, suhu meningkat > 375 0 c, akral hangat, akral dingin (waspada syok), capillary refill time memajang > 2 dt, kemerahan pada daerah perianal.
i. Sistem perkemihan : urin produksi oliguria sampai anuria (200-400 ml/ 24 jam ), frekuensi berkurang dari sebelum sakit.
j. Dampak hospitalisasi : semua anak sakit yang MRS bisa mengalami stress yang berupa perpisahan, kehilangan waktu bermain, terhadap tindakan invasive respon yang ditunjukan adalah protes, putus asa, dan kemudian menerima.
10. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium :
• feses kultur : Bakteri, virus, parasit, candida
• Serum elektrolit : Hipo natremi, Hipernatremi, hipokalemi
• AGD : asidosis metabolic ( Ph menurun, pO2 meningkat, pcO2 meningkat, HCO3 menurun )
• Faal ginjal : UC meningkat (GGA)
2) Radiologi : mungkin ditemukan bronchopemoni

PENATALAKSANAAN DIARE
Rehidrasi
1. jenis cairan
1) Cara rehidrasi oral
o Formula lengkap (NaCl, NaHCO3, KCl dan Glukosa) seperti orali, pedyalit setiap kali diare.
o Formula sederhana ( NaCl dan sukrosa)
2) Cara parenteral
o Cairan I : RL dan NS
o Cairan II : D5 ¼ salin,nabic. KCL
D5 : RL = 4 : 1 + KCL
D5 + 6 cc NaCl 15 % + Nabic (7 mEq/lt) + KCL
o HSD (half strengh darrow) D ½ 2,5 NS cairan khusus pada diare usia > 3 bulan.
2. Jalan pemberian
1) Oral (dehidrasi sedang, anak mau minum, kesadaran baik)
2) Intra gastric ( bila anak tak mau minum,makan, kesadran menurun)

3. Jumlah Cairan ; tergantung pada :
1) Defisit ( derajat dehidrasi)
2) Kehilangan sesaat (concurrent less)
3) Rumatan (maintenance).
4. Jadwal / kecepatan cairan
1) Pada anak usia 1- 5 tahun dengan pemberian 3 gelas bila berat badanya kurang lebih 13 kg : maka pemberianya adalah :
o BB (kg) x 50 cc
o BB (kg) x 10 – 20 = 130 – 260 cc setiap diare = 1 gls.
2) Terapi standar pada anak dengan diare sedang :
+ 50 cc/kg/3 jam atau 5 tetes/kg/mnt


Terapi
1. obat anti sekresi : Asetosal, 25 mg/hari dengan dosis minimal 30 mg
klorpromazine 0,5 – 1 mg / kg BB/hari
2. onat anti spasmotik : Papaverin, opium, loperamide
3. antibiotik : bila penyebab jelas, ada penyakit penyerta

Dietetik
a. Umur > 1 tahun dengan BB>7 kg, makanan padat / makanan cair atau susu
b. Dalam keadaan malbasorbsi berat serta alergi protein susu sapi dapat diberi elemen atau semi elemental formula.
Supportif
Vitamin A 200.000. IU/IM, usia 1 – 5 tahun

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan diare atau output berlebihan dan intake yang kurang
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan cairan skunder terhadap diare.
3. Resiko peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi skunder terhadap diare
4. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan frekwensi diare.
5. Resiko tinggi gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan BB menurun terus menerus.
6. Kecemasan anak berhubungan dengan tindakan invasive

INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa 1: Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan cairan skunder terhadap diare
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam keseimbangan dan elektrolit dipertahankan secara maksimal
Kriteria hasil :
o Tanda vital dalam batas normal (N: 120-60 x/mnt, S; 36-37,50 c, RR : < 40 x/mnt )
o Turgor elastik , membran mukosa bibir basah, mata tidak cowong, UUB tidak cekung.
o Konsistensi BAB lembek, frekwensi 1 kali perhari
Intervensi :
1) Pantau tanda dan gejala kekurangan cairan dan elektrolit
R/ Penurunan sisrkulasi volume cairan menyebabkan kekeringan mukosa dan pemekataj urin. Deteksi dini memungkinkan terapi pergantian cairan segera untuk memperbaiki defisit
2) Pantau intake dan output
R/ Dehidrasi dapat meningkatkan laju filtrasi glomerulus membuat keluaran tak aadekuat untuk membersihkan sisa metabolisme.
3) Timbang berat badan setiap hari
R/ Mendeteksi kehilangan cairan , penurunan 1 kg BB sama dengan kehilangan cairan 1 lt
4) Anjurkan keluarga untuk memberi minum banyak pada kien, 2-3 lt/hr
R/ Mengganti cairan dan elektrolit yang hilang secara oral
5) Kolaborasi :
- Pemeriksaan laboratorium serum elektrolit (Na, K,Ca, BUN)
R/ koreksi keseimbang cairan dan elektrolit, BUN untuk mengetahui faal ginjal (kompensasi).
- Cairan parenteral ( IV line ) sesuai dengan umur
R/ Mengganti cairan dan elektrolit secara adekuat dan cepat.
- Obat-obatan : (antisekresin, antispasmolitik, antibiotik)
R/ anti sekresi untuk menurunkan sekresi cairan dan elektrolit agar simbang, antispasmolitik untuk proses absorbsi normal, antibiotik sebagai anti bakteri berspektrum luas untuk menghambat endotoksin.

Diagnosa 2 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak adekuatnya intake dan out put
Tujuan : setelah dilakukan tindakan perawatan selama dirumah di RS kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria : - Nafsu makan meningkat
- BB meningkat atau normal sesuai umur
Intervensi :
1) Diskusikan dan jelaskan tentang pembatasan diet (makanan berserat tinggi, berlemak dan air terlalu panas atau dingin)
R/ Serat tinggi, lemak,air terlalu panas / dingin dapat merangsang mengiritasi lambung dan sluran usus.
2) Ciptakan lingkungan yang bersih, jauh dari bau yang tak sedap atau sampah, sajikan makanan dalam keadaan hangat
R/ situasi yang nyaman, rileks akan merangsang nafsu makan.
3) Berikan jam istirahat (tidur) serta kurangi kegiatan yang berlebihan
R/ Mengurangi pemakaian energi yang berlebihan
4) Monitor intake dan out put dalam 24 jam
R/ Mengetahui jumlah output dapat merencenakan jumlah makanan.
5) Kolaborasi dengan tim kesehtaan lain :
a. terapi gizi : Diet TKTP rendah serat, susu
b. obat-obatan atau vitamin ( A)
R/ Mengandung zat yang diperlukan , untuk proses pertumbuhan


Diagnosa 3 : Resiko peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi dampak sekunder dari diare
Tujuan : Stelah dilakukan tindakan perawatan selama 3x 24 jam tidak terjadi peningkatan suhu tubuh
Kriteria hasil : suhu tubuh dalam batas normal ( 36-37,5 C)
Tidak terdapat tanda infeksi (rubur, dolor, kalor, tumor, fungtio leasa)
Intervensi :
1) Monitor suhu tubuh setiap 2 jam
R/ Deteksi dini terjadinya perubahan abnormal fungsi tubuh ( adanya infeksi)
2) Berikan kompres hangat
R/ merangsang pusat pengatur panas untuk menurunkan produksi panas tubuh
3) Kolaborasi pemberian antipirektik
R/ Merangsang pusat pengatur panas di otak

Diagnosa 4 :Resiko gangguan integritas kulit perianal berhubungan dengan peningkatan frekwensi BAB (diare)
Tujuan : setelah dilakukan tindaka keperawtan selama di rumah sakit integritas kulit tidak terganggu
Kriteria hasil : - Tidak terjadi iritasi : kemerahan, lecet, kebersihan terjaga
- Keluarga mampu mendemontrasikan perawatan perianal dengan baik dan benar
Intervensi :
1) Diskusikan dan jelaskan pentingnya menjaga tempat tidur
R/ Kebersihan mencegah perkembang biakan kuman
2) Demontrasikan serta libatkan keluarga dalam merawat perianal (bila basah dan mengganti pakaian bawah serta alasnya)
R/ Mencegah terjadinya iritassi kulit yang tak diharapkan oleh karena kelebaban dan keasaman feces
3) Atur posisi tidur atau duduk dengan selang waktu 2-3 jam
R/ Melancarkan vaskulerisasi, mengurangi penekanan yang lama sehingga tak terjadi iskemi dan irirtasi .

Diagnosa 5 : Kecemasan anak berhubungan dengan tindakan invasive
Tujuan : setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3 x 24 jam, klien mampu beradaptasi
Kriteria hasil : Mau menerima tindakan perawatan, klien tampak tenang dan tidak rewel
Intervensi :
1) Libatkan keluarga dalam melakukan tindakan perawatan
R/ Pendekatan awal pada anak melalui ibu atau keluarga
2) Hindari persepsi yang salah pada perawat dan RS
R/ mengurangi rasa takut anak terhadap perawat dan lingkungan RS
3) Berikan pujian jika klien mau diberikan tindakan perawatan dan pengobatan
R/ menambah rasa percaya diri anak akan keberanian dan kemampuannya
4) Lakukan kontak sesering mungkin dan lakukan komunikasi baik verbal maupun non verbal (sentuhan, belaian dll)
R/ Kasih saying serta pengenalan diri perawat akan menunbuhkan rasa aman pada klien.
5) Berikan mainan sebagai rangsang sensori anak


DAFTAR PUSTAKA

Bates. B, 1995. Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan. Ed 2. EGC. Jakarta
Carpenitto.LJ. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis. Ed 6. EGC. Jakarta.
Lab/ UPF IKA, 1994. Pedoman Diagnosa dan Terapi . RSUD Dr. Soetomo. Surabaya.
Markum.AH. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak sakit. EGC. Jakarta
Soetjiningsih, 1995. Tumbuh Kembang Anak. EGC. Jakarta
Suryanah,2000. Keperawatan Anak. EGC. Jakarta
Doengoes,2000. Asuhan Keperawatan Maternal/ Bayi. EGC. Jakarta

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK APENDIKSITIS

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK APENDIKSITIS


A. LATAR BELAKANG
Apendiksitis merupakan suatu keadaan yang sering terjadi dan membutuhkan operasi kegawatan perut pada anak. Diagnosisnya sulit pada anak-anak, merupakan faktor yang memberikan angka perforasi 30-60%. Resiko untuk perforasi terbanyak pada anak usia 1-4 tahun (70-75%) dan terendah pada remaja (30-40%), yang insiden tertingginya menurut umur adalah masa anak. Kejadian apendiksitis meningkat dengan bertambahnya usia, memuncak pada remaja dan jarang terjadi pada anak kurang dari 1 tahun.
Perjelekan sejak mulainya gejala sampai perforasi biasanya terjadi setelah 36-48 jam. Jika diagnosis terlambat setelah 36-48 jam, angka perforasi menjadi 65%.
Berdasarkan hal tersebut, peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan sangat penting untuk meminimalkan dampak penyakit yang lebih lanjut.

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Setelah mengikuti program pendidikan belajar (PBK) pada stase anak, saya mampu memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan post apendiktomi.
2. Tujuan Khusus
Dapat melakukan pengkajian, analisa data, memprioritaskan diagnosa keperawatan serta melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan post apendiktomi.







BAB II
TINJAUAN TEORI


A. DEFINISI
Appendisitis adalah peradangan dari appendiks vermoformis (kantung buntu diujung sekum). (Donna L Wong, 2004)
B. PATOFISIOLOGI
Hiperplasia folikel limfoid, fekalid, cacing, striktur, kanker dapat menyebabkan obstruksi apendik yang mengakibatkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung. Makin lama mukus yang terbendung makin banyak dan menekan dinding apendiks sehingga mengganggu aliran limfe dan menyebabkan dinding apendiks oedem, serta merangsang tonika serosa dan peritonium veceral. Persarafan appendiks sama dengan usus, yaitu torakal X (vagus) maka rangsangan itu dirasakan sebagai rasa sakit sekitar umbilikus, mukus yang terkumpul lalu terinfeksi oleh bakteri dan menjadi nanah, kemudian timbul gangguan aliran vena, sedangkan arteri belum terganggu peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritonium bawah. Bila dinding appendiks yang telah rapuh pecah maka dinamakan appendikitis perforasi. Pada anak-anak karena omentum masih pendek dan tipis, appendiks yang relatif lebih panjang, dinding apendiks yang lebih tipis dan daya tahan tubuh yang madsih kurang, maka perforasi akan lebih cepat.










C. PATHWAY































D. MANIFESTASI KLINIK
Gejala utama dari appendiks adalah nyeri perut, rasa sakit ini disebabkan karena penyumbatan appendiks. Pada mulanya nyeri perut ini hilang timbul dan terasa di epigastrium atau regioumbilukus. Tiga gejala klasik terdiri atas nyeri, mual dan panas, Biasanya disertai anorexia, dan muntah, diare jarang terjadi terdiri dari sedikit tinja berlendir yang disebabkan oleh iritasi kolon sigmoid. Jika terjadi iritasi pada kandung kemih bisa menimbulkan gejala kencing seperti sering dan terburu-buru.
Bila proses radang telah menjalar ke peritonium perietal setempat, maka akan timbul nyeri lokal pada perut kanan bawah didaerah Mc. Burney seperti nyeri tekan. Pada perforasi, nyeri menjadi menyeluruh.
Gejala umum lainnya adalah bising usus menurun atau hilang sama sekali, demam, mula-mula demam tidak begitu tinggi tetapi menjadi hiperpireksia bila terjadi perforasi, bila proses appendiksitis menjadi kronis maka gejala-gejala menjadi tidak jelas.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hitung darah lengkap, didapatkan leukositosis, neutropilia.
2. Ultrasound, didapatkan fekalit nonkalsifikasi, apendiks nonperforasi, abses apendiks.
3. Pemeriksaan foto abdomen, didapatkan fekalit berkalsifikasi.

F. FOCUS PENGKAJIAN
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik diarahkan pada penentuan tanda apendiksitis.
Aspek yang terkait riwayat yang mendukung diagnosis apendiksitis meliputi mulainya nyeri sebelum muntah dan diare, kehilangan nafsumakan, berpindahnya nyeri dari periumbilikus ke kuadran kanan bawah dan nyeri bertambah parah dengan pergerakan.
Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan inspeksi tingkah laku anak dan keadaan perutnya. Anak dengan apendiksitis sering bergerak dengan berlahan dan terbatas, membungkuk ke depan dan sedikit pincang. Anak tersebut akan memegang kuadran kanan bawah. Perut kembung menunukkan suatu komplikasi seperti perforasi/obstruksi. Auskultasi bisa menunjukkan suara usus abnormal (hipoaktif) ketika terjadi perforasi.
Palpasi abdomen harus dilakukan dengan lembut, kuadran kanan bawah (titik McBurney, yaitu perpotongan lateral dan duapertiga dari garis yang menghubungkan spina iliaka superior anterior kanan dan umbilikus). Tanda fisik yang paling penting pada apendiksitis adalah nyeri tekan menetap pada saat palpasi.
2. Observasi adanya tanda-tanda peritonitis.
Tanda terjadinya perforasi adalah demam, hilangnya nyeri secara tiba-tiba setelah perforasi, peningkatan nyeri yang biasanya menyebar dan disertai kaku abdomen, distensi abdmen progresif, menggigil.

G. FOCUS INTERVENSI
1. Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan adanya organisme infektif didalam abdomen, perforasi pada apendiks.
Kriteria hasil : meningkatnya penyembuhan luka dengan benar, bebas tanda
infeksi atau inflamasi.
Intervensi :
Pantau tanda-tanda vital dan jumlah leukosit. Perhatikan adanya demam, menggigil, berkeringat, meningkatnya nyeri abdomen.
Beri perawatan luka dan penggantian balutan dengan menggunakan teknik septik.
Minotor insisi dan balutan. Catat karakteristik drainase luka, adanya eritema.
Beri antibiotik sesuai ketentuan.
2. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan diskontinuitas jaringan.
Kriteria hasil : nyeri dapat terkontrol, tampak rileks, dapat tidur secara cukup.
Intervensi :
Lakukan strategi nonfarmakologi untuk membantu anak mengatasi nyeri.
Gunakan strategi yang dikenal anak atau gambarkan beberapa strtegi dan biarkan anak memilih salah satunya.
Libatkan orang tua dalam pemilihan strategi.
Minta orang tua untuk membantu anak dengan menggunakan strategi selama nyeri aktual.
Beri obat analgesik sesuai ketentuan.
3. Resiko tinggi cidera berhubungan dengan tidak adanya motilitas usus.
Kriteria hasil : anak tidak menunjukkan tanda-tanda ketidaknyamanan,
abdomen tetap lunak dan tidak distensi, anak tidak muntah
Intervensi :
Pertahankan puasa pada pascaoperasi.
Pertahankan dekompresi selang NGT
Kaji abdomen untuk adanya distensi, nyeri tekan dan bising usus.
Pantau keluarnya flatus dan feses.

INTERVENSI PASCABEDAH :
1. Cegah dan pantau adanya distensi abdomen
a. Puasa
b. Pertahankan tetap terbukanya tuba nasogastrik
c. Kaji ketegangan dinding abdomen (keras, lunak)
2. Cegah penyebab infeksi
a. Lakukan perawatan luka sesuai indikasi dan pembuangan balutan yang benar.
b. Berikan isolasi universal
3. Pantau adanya tanda-tanda infeksi
a. Pantau tanda-tanda vital sesuai intruksi
b. Observasi luka untuk adanay tanda-tanda infeksi : panas, nyeri, bengkak dan kemerahan.
c. Beri antibiotik : pantau respon anak
d. Pantau tempat pemasangan infus
4. Tingkatkan penyembuhan luka
a. Lakukan perawatan luka : jaga agar tempat tersebut tetap kering dan bersih.
b. Letakkan anak dalam posisi semi fowler untuk memudahkan drainase jika ada cairan.

5. Kaji nyeri dan lakukan tindakan penghilang nyeri
a. Ajarkan teknik distraksi untuk mengurangi rasa sakit.
b. Lakukan tindakan-tindakan pemberi rasa nyaman seperti masase dan pemberian posisi yang nyaman.
6. Bantu anak dan orang tua dalam mengatasi stress emosional karena hospitalisasi dan pembedahan.

Asuhan Keperawatan Kanker Payudara, ca mamae

ASUHAN KEPERAWATAN KANKER PAYUDARA
CA MAMAE


A. Definisi
Kanker adalah proses penyakit yang bermula ketika sel abnormal diubah oleh mutasi genetik DNA seluler (Smeltzer, 2002: 317). Menurut Sabiston (1995: 385) kanker payudara adalah neoplasma spesifik tempat yang terlazim pada wanita dan merupakan sebab utama kematian akibat kanker dalam wanita berusia 40-44 tahun. Kenker payudara adalah neoplasma ganas, suatu pertumbuhan jaringan payudara abnormal yang tidak memandang jaringan sekitarnya, tumbuh infiltratif dan destruktif dan dapat bermetastase (FKUI, 1995: 356).
Kanker payudara dibagi dalam tahap-tahap berdasarkan TNM (Tumor, Nodus, Metastasis). Pentahapan tersebut mencakup mengklasifikasikan kanker payudara berdasarkan pada keluasan penyakit. Tahap kanker payudara yaitu:

Tumor primer (T)
T0: tidak ada bukti tumor primer
Tis: karsinoma insitu: karsinoma intraduktal, karsinoma lobular in situ, atau penyakit paget’s puting susu dengan atau tanpa tumor.
T1: tumor <>
T2: tumor > 2 cm tapi tidak 75 cm dalam dimensi terbesarnya.
T3: tumor > 5 cm tapi tidak 75 cm dalam dimensi terbesarnya.
T4: tumor sembarang ukuran degan arah perluasan ke dinding dada dan kulit.
Nodus limfe regional (N)
N0: tidak ada metastasis nodus limfe regional
N1: melatastase ke nodus limfe aksilaris ipsilateral (S) yang dapat digerakkan.
N2: melatastase ke nodus limfe aksilaris ipsilateral (S) terfiksasi pada satu sama lain atau pada struktur lainnya.
N3: melatastasis ke nodus limfe mamaria internal ipsilateral.

Metastase jauh (M)
M0: tidak ada melatastase yang jauh.
M1: melatastasis jauh (termasuk metastasis ke nodus limfe supakalvikular ipsilateral).


Gambar tahap kanker payudara
(Smeltzer & Bare, 2002 : 1592)
Keterangan :
1. Diameter tumor kurang dari 2 cm dan terletak dalam payudara
2. Tumor kurang dari 5 cm atau lebih kecil dengan keterlibatan nodus limfe aksilaris yang dapat digerakkan.
3. Tumor lebih besar dari 5 cm atau tumor disertai dengan perbesaran nodus limfe yang terfiksasi satu sama lain atau pada jaringan didekatnya
4. Lesi lebih lanjut disertai nodulus satelit terfiksasi pada kulit atau dinding dada, ulserasi, edema atau dengan keterlibatan nodus supraklafikularis atau intra klavikular
5. Semua tumor dengan metastase jauh
B. Anatomi


Gambar Anatomi payudara
(Smeltzer & Bare, 2002 : 1579)
C. Etiologi
Etiologi kanker payudara dari beberapa sumber:
Menurut Sabiston (1995: 386) adalah:
1. Pengaruh diit.
2. Kanker majemuk.
3. Faktor genetik.
4. Pengaruh hormon.
5. Penyakit proliferasi dan hiperplasi atipik.
6. Radiasi ionisasi.
Menurut FKUI (1995: 344)
Faktor penyebab kanker payudara adalah:
1. Konstitusi genetik.
2. Pengaruh hormon.
3. Virogen.
4. Makanan (terutama yang banyak mengandung lemak).
5. Radiasi daerah dada.

Sedangkan faktor risiko tinggi kanker payudara:
1. Umur > 30 tahun.
2. Anak pertama lahir pada usia ibu > 35 tahun.
3. Tidak kawin.
4. Menarche <>
5. Menopause terlambat > 55 tahun.
6. Pernah operasi tumor jinak payudara.
7. Mendapat terapi hormon yang lama.
8. Adanya kanker payudara kontralateral.
9. Operasi ginekologi.
10. Radiasi dada.
11. Riwayat keluarga.
D. Pengkajian Fokus Mastektomi (Doenges 2000:751)
1. Aktivitas/ Istirahat
Gejala: Kerja, aktivitas yang melibatkan banyak gerakan tangan/ pengulangan pola tidur (contoh tidur tengkurap)
2. Sirkulasi.
Tanda: Kongesti unilateral pada lengan yang terkena (sistem limfe)
3. Makanan/ cairan.
Gejala: Kehilangan nafsu makan, adanya penurunan berat badan.
4. Integritas Ego.
Gejala: Stressor konstan dalam pekerjaan/ pola dirumah.
Stres/ takut diagnosa, prognosis, harapan yang akan datang.
5. Nyeri/ Keamanan.
Gejala: Nyeri pada penyakit yang luas/ metastasik (nyeri lokal jarang terjadi pada keganasan dini)
Beberapa pengalaman ketidaknyamanan atau perasaan “lucu” pada jaringan payudara.
Payudara berat, nyeri sebelum menstruasi biasanya mengindikasikan penyakit fibrotik.
6. Keamanan.
Gejala: Masa nodul aksila
Edema, eritema pada kulit sekitar.
7. Seksualitas.
Gejala: Adanya benjolan payudara, perubahan pada ukuran dan kesimetrisan payudara.
Perubahan pada warna kulit payudara atau suhu, rabas puting yang tak biasanya, gatal, rasa terbakar atau puting meregang.
Riwayat menarche dini (kurang dari 12 tahun), menopause lambat (> 50 tahun), kehamilan pertama lambat (> 35 tahun).
Masalah tentang seksualitas/ keintiman.
Tanda: Perubahan pada kontur/ masa payudara, asimetris.
Kulit cekung/ berkerut, perubahan pada warna/ tekstur kulit, pembengkakan, kemerahan/ panas pada payudara.
Puting retraksi, rabas dari puting (serosa, serosangiosa, rabas, berair meningkatkan kemungkinan kanker khususnya bila disertai benjolan).
E. Pathways


F. Fokus Intervensi
1. Takut/ Ansietas (Doenges, 2000: 753)
Dapat dihubungkan dengan:
a. Ancaman kematian, contoh penyakit luas.
b. Ancaman konsep diri: perubahan gambaran diri, gangguan perut, kehilangan bagian tubuh, seksual tak menarik.
c. Perubahan status nutrisi.
Hasil yang diharapkan:
a. Mengakui dan mendiskusikan masalah.
b. Menunjukkan rentang perasaan yang tepat.
c. Melaporkan takut dan ansietas menurun sampai tingkat dapat ditangani.
Intervensi:
a. Yakinkan informasi pasien tentang diagnosis, harapan, intervensi pembedahan dan terapi yang akan datang.
b. Jelaskan tujuan dan persiapan untuk test diagnostik,
c. Berikan lingkungan perhatian, keterbukaan dan penerimaan juga privasi untuk pasien dan orang terdekat.
d. Dorong pertanyaan dan berikan waktu untuk mengekspresikan takut.
e. Kaji tersedianya dukungan pada pasien.
f. Diskusikan/ jelaskan peran rehabilitasi setelah pembedahan.
2. Kurang pengetahuan (kebutuhan untuk belajar) mengenai kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan (Doenges, 2000: 903).
Dapat dihubungkan dengan:
a. Kurangnya pemajanan/ mengingat, salah interpretasi informasi.
b. Tidak akrab dengan sumber informasi.
Hasil yang diharapkan:
a. Mengutarakan pemahaman proses penyakit/ proses praoperasi dan harapan pasca operasi.
b. Melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu tindakan.
c. Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam regimen perawatan.
Intervensi:
a. Kaji tingkat pemahaman pasien.
b. Tinjau ulang patologi khusus dan antisipasi prosedur pembedahan.
c. Gunakan sumber-sumber bahan pengajaran, audiovisual sesuai keadaan.
d. Melaksanakan program pengajaran praoperasi individual.
e. Sediakan kesempatan untuk melatih batuk nafas dalam dan latihan otot.
f. Informasikan pasien/ orang terdekat mengenai rencana perjalanan, komunikasikan dokter/ orang terdekat.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (Doenges, 2000: 1006)
Dapat dihubungkan dengan:
a. Status hipermetabolik berkenaan dengan kanker.
b. Konsekuensi kemoterapi, radiasi, pembedahan, misal: anoreksia, iritasi lambung, penyimpangan rasa, mual.
c. Distress emosional, keletihan, kontrol nyeri buruk.
Hasil yang diharapkan:
a. Mendemonstrasikan berat badan stabil, penambahan BB progresif kearah tujuan dengan normalisasi nilai laboratorium dan bebas tanda malnutrisi.
b. Pengungkapan pemahaman pengaruh individual pada masukan adekuat.
c. Berpartisipasi dalam intervensi spesifik untuk merangsang nafsu makan/ peningkatan masukan diit.
Intervensi:
a. Pantau masukan makanan setiap hari, biarkan pasien menyimpan buku harian tentang makanan sesuai indikasi.
b. Ukur tinggi, berat badan dan ketebalan lipatan kulit trisep. Timbang BB tiap hari.
c. Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan masukan cairan adekuat.
d. Ciptakan suasana makan yang menyenangkan.
e. Dorong penggunaan teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi, latihan sedang sebelum makan.
f. Identifikasi pasien yang mengalami mual/ muntah yang diantisipasi.
g. Pasang/ pertahankan selang NG/ pemberian makan untuk makanan enteral atau jalur sentral untuk hiperalimentasi parenteral bila diindikasikan.
4. Nyeri (akut) (Doenges, 2000: 755)
Dapat dihubungkan dengan:
a. Prosedur pembedahan, trauma jaringan, interupsi saraf, diseksi otot.
Hasil yang diharapkan:
a. Mengekspresikan penurunan nyeri/ ketidaknyamanan.
b. Tampak rileks, mampu tidur/ istirahat dengan tepat.
Intervensi:
a. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, lamanya dan intensitas. Perhatikan petunjuk verbal dan non verbal.
b. Diskusikan sensasi masih adanya payudara normal.
c. Bantu pasien menemukan posisi nyaman.
d. Berikan tindakan kenyamanan dasar, dorong ambulasi dini dan penggunaan teknik relaksasi bimbingan imajinasi, sentuhan terapeutik.
e. Tekan/ sokong dada untuk latihan batuk/ nafas dalam.
f. Berikan obat nyeri yang cepat pada jadwal teratur sebelum nyeri berat/ sebelum aktivitas.
5. Keletihan (Doenges,2000:1009)
Dapat dihubungkan dengan:
a. Penurunan produksi energi metabolik, peningkatan kebutuhan energi (status hipermetabolik).
b. Kebutuhan psikologik/ emosional berlebihan.
c. Perubahan kimia tubuh.
Hasil yang diharapkan:
a. Melaporkan perbaikan rasa berenergi.
b. Melakukan AKS dan berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan pada tingkat kemampuan.
Intervensi:
a. Rencanakan perawatan untuk memungkinkan periode istirahat. Jadwalkan aktivitas periodik bila pasien mempunyai energi paling banyak.
b. Buat tujuan aktivitas realistik dengan pasien.
c. Dorong pasien untuk melakukan apa saja bila mungkin, misal: mandi. Tingkatkan tingkat aktivitas sesuai kemampuan.
d. Pantau respons fisiologis terhadap aktivitas misal: perubahan tekanan darah dan pernafasan.
e. Dorong masukan nutrisi.
f. Berikan O2 suplemen sesuai indikasi.
g. Rujuk pada terapi fisik/ okupasi.
6. Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder akibat pembedahan (Carpenito, L.J., 2001: 204).
Kriteria hasil:
a. Memperlihatkan teknik cuci tangan yang sangat cermat pada waktu pulang.
b. Bebas dari proses infeksi nosokomial selama perawatan di rumah sakit.
c. Memperlihatkan pengetahuan tentang faktor risiko yang berkaitan dengan infeksi dan melakukan pencegahan yang tepat untuk mencegah infeksi.
Intervensi:
a. Identifikasi individu yang berisiko terhadap infeksi nosokomial.
b. Kurangi organisme yang masuk kedalam individu.
c. Lindungi individu yang mengalami defisit imun dari infeksi.
d. Kurangi kerentangan individu terhadap infeksi.
e. Amati terhadap manifestasi klinis infeksi.
f. Instruksikan individu dan keluarga mengenai penyebab, risiko dan kekuatan penularan dari infeksi.
7. Sindrom disuse berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal (Carpenito, L.J., 2001: 107)
Kriteria hasil:
a. Integritas kulit/ jaringan utuh.
b. Fungsi paru-paru maksimum.
c. Aliran darah perifer maksimum.
d. Rentang gerak, batasan gerak sempurna.
Intervensi:
a. Bantu untuk mengubah posisi, membalik dengan sering dari satu sisi ke sisi lain.
b. Cegah ilkus karena tekanan.
c. Jangan masase area yang kemerahan.
d. Lakukan latihan rentang gerak.
e. Posisi individu dalam kelurusan untuk mencegah komplikasi.
f. Berikan penopang beban berat bila mungkin.
g. Tinggikan ekstremitas diatas letak jantung.

ASUHAN KEPERAWATAN AKUT RESPIRATORY DISTRESS SINDROME

AKUT RESPIRATORY DISTRESS SINDROM
Kegawatan pernafasan ( Respiratory Distress syndrome ) pada anak merupakan penyebab utama kematian pada bayi baru lahir, diperkirakan 30% dari semua kematian neonatus disebabkan oleh penyakit ini atau komplikasinya. Penyakit ini terjadi pada bayi prematur, insidennya berbanding terbalik dengan umur kehamilan dan berat badannya. 60-80% terjadi pada bayi yang umur kehamilannya kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi antara 32-36 minggu, sekitar 3% pada bayi yang lebih dari 37 minggu.
Tingginya angka kejadian tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi para tenaga kesehatan, mahasiswa S1 keperawatan yang merupakan calon tenaga kesehatan profesional, yang nantinya akan selalu berhubungan dengan penderita atau anak dengan resiko menderita RDS, harus mempunyai pengetahuan dan ketrampilan dalam mencegah dan membantu mengatasi tersebut dan dapat dipertanggungjawabkan pada pasien dan tim kesehatan lain.

A. PENGERTIAN

Respiratory Distress Syndrome ( RDS ) adalah perkembangan yang immatur pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai hyaline membran disease ( HMD ).
(Suriadi, 2001).

B. ETIOLOGI

Dihubungkan dengan usia kehamilan, semakin muda seorang bayi, semakin tinggi Resiko RDS sehingga menjadikan perkembangan yang immatur pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru.
RDS terdapat dua kali lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan, insidens meningkat pada bayi dengan faktor –faktor tertentu, misalnya: ibu diabetes yang melahirkan bayi kurang dari 38 minggu, hipoksia perinatal, lahir melalui seksio sesaria.

C. PATHOFISIOLOGI

Pada bayi dengan RDS, dimana tidak adanya kemampuan paru untuk mengembang dan alveoli terbuka. RDS pada bayi yang belum matur menyebabkan gagal pernafasan karena immaturnya dinding dada, parenchim paru, dan immaturnya endotellium kapiler yang menyebabkan kolaps paru pada akhir ekspirasi.
Pada kasus yang terjadi akibat tidak adanya atau kurangnya, atau berubahnya komponen surfaktan pulmoner. Surfaktan suatu kompleks lipoprotein, adalah bagian dari permukaan mirip film yang ada di alveoli, untuk mencegahnya kolapsnya alveolus tersebut. surfaktan dihasilkan oleh sel-sel pernafasan tipe II di alveoli. Bila surfakatan tersebut tidak adekuat, akan terjadi kolaps alveolus dan mengakibatkan hipoksia dan retensi CO2 mengakibatkan asidosis Kemudian terjadi konstriksi vaskuler pulmoner dan penurunan perfusi pilmoner, yang berakhir sebagai gagal nafas progresif, terjadi hipoksemia progresif yang dapat menyebabkan kematian. ( Nelson,2000).

D. MANIFESTASI KLINIK

1. Takipneu
2. Retraksi interkostal dan sternal
3. Pernafasan cuping hidung
4. Sianosis sejalan dengan hipoksemia
5. Menurunya daya compliance paru (nafas ungkang- ungkit paradoksal )
6. Hipotensi sistemik (pucat perifer, edema, pengisian kapiler tertunda lebih dari 3 sampai 4 detik )
7. Penurunan keluaran urine
8. Penurunan suara nafas dengan ronkhi
9. Takhikardi pada saat terjadinya asidosis dan hipoksemia.

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Foto thoraks
a. Pola retikulogranular difus bersama bronkhogram udara yang saling tumpah tindih.
b. Tanda paru sentral batas jantung sukar dilihat, inflasi paru buruk.
c. Kemungkinan terdapat kardiomegali bila sistem lain juga terkena (bayi dari ibu diabetes, hipoksia, gagal jantung kongestif )
d. Bayangan timus yang besar.
e. Bergranul merata pada bronkhogram udara, yang menandakan penyakit berat jika terdapat pada beberapa jam pertama.
2. Gas Darah Arteri menunjukan asidosis respiratory dan metabolik yaitu adanya penurunan pH, penurunan PaO2, dan peningkatan paCO2, penurunan HCO3.
3. Hitung darah lengkap,
4. Perubahan Elektrolit, cenderung terjadi penurunan kadar: kalsium, natrium, kalium dan glukosa serum

F. KOMPLIKASI

1. Pneumothorak
2. Pneumomediastinum
3. Hipotensi
4. Menurunya pengeluaran urine
5. Asidosis
6. Hiponatremi
7. Hipernatremi
8. Hipokalemi
9. Disseminated intravaskuler coagulation ( DIC )
10. Kejang
11. Intraventricular hemorhagi
12. Infeksi sekunder.
13. murmur

G. ASIDOSIS

merupakan suatu kondisi terjadinya pelepasan ion Hidrogen ( H+ ) yang berlebihan dalam darah sehingga terjadi penurunan pH darah dalam tubuh.
pH darah dalam tubuh mempunyai nilai normal : 7,38-7,42 dengan pemeriksaan AGD ( analisa gas darah ). bila kurang dari nilai normal disebut dinamakan asidosis, sedangkan bila lebih dari normal disebut alkalosis. Berat ringannya tergantung tinggi rendahnya rentang perubahanya.
Kolaps paru pada kasus RDS dapat menyebabkan asidosis karena terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia dan Retensi CO2. oksigenasi jaringan menurun sehingga terjadi metabolisme anaerobik yang menimbulkan asam laktat dan asam organik lain yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik.

H. PENATALAKSANAAN

1. Memberikan lingkungan yang optimal.Suhu tubuh harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal ( 36,50-370C ) dengan cara meletakkan bayi dalam inkubator. Kelembapan ruangan juga harus adekuat ( 70-80%)
2. Pemberian oksigen .
Pemberian oksigen harus hati-hati karena berpengaruh kompleks terhadap bayi prematur. Untuk mencegah timbulnya komplikasi tersebut pemberian O2 sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan analisa gas darah.
Rumatan PaO2 antara 50-80mmHg dan PaCO2 antara 40 dan 50 mmHg, dengan rumatan O2 2L.
3. Pemberian cairan dan elektrolit.
Pada permulaan diberikan glukose 5-10% 60-125 ml/kgBB/hari. Asidosis yang selalu dijumpai
Harus segera dikoreksi dengan NaHCO3 secara intravena, dengan rumus pemberian : NaHCO3( mEq ) =Defisit basa X 0.3 X BB bayi.
4. Pemberian antibiotik, untuk mnecegah infeksi sekunder. Dapat diberikan penissilin dengan dosis 50000-100000 U/kgBB/hari dengan atau tanpa gentamicin3-5/kgBB/hari.
5. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian surfaktan eksogen melalui endotrakheal tube. Obat ini sangat efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Cecily. L Betz. 2002. Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta. EGC
Nelson. E Waldo. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Jilid I.Jakarta. EGC
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta. EGC
Suriadi. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi I.Jakarta. CV Agung Seto.

Photobucket